Senin, 02 April 2012

Kritik Sastra



BAB I

Pendahuluan

 

1.1 Latar Belakang

Pada pertengahan sampai akhir dasawarsa 1980-an, pernah ramai dibincangkan kemungkinan dilahirkannya kritik sastra Indonesia yang khas bercirikan keindonesiaan. Beberapa istilah pun kemudian bermunculan. Satyagraha Hoerip, misalnya, melontarkan gagasannya dengan mengusung istilah Teori dan Kritik Sastra PDN (produksi dalam negeri). Yang lain menyebutnya dengan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia.
Apapun istilahnya, dasar pemikiran yang dikedepankan dalam perbincangan itu menyangkut perlunya dirumuskan teori dan kritik sastra yang tak lagi berkiblat ke Barat. Sejak diselenggarakannya serangkaian diskusi kritik sastra awal Orde Baru, yang ekornya melahirkan dua aliran kritik sastra, yaitu kritik akademis (Aliran Rawamangun) dan kritik dengan metode Ganzheit, ada kecenderungan kuatnya pengaruh kritik akademis dalam peta kesusastraan kita. Pengaruhnya itu mengakar di berbagai institusi sastra di Indonesia.
Di dalam perkembangannya kemudian, kritik akademis ini terkesan asyik-masyuk (berkasih-kasihan) sendiri. Ia cuma milik kalangan akademi dan tak laku dijual untuk komunitas kesusastraan Indonesia secara keseluruhan. Tambahan lagi, analisis yang diperlihatkan kritik akademis, dipandang terlalu kering-kaku . Akibatnya terjadi tulalit antara kritikus (akademi) dan sastrawan. Kaum akademi menempatkan metode ilmiah dengan berbagai teori Barat sebagai “satu” cara analisis yang andal dan teruji. Langkah ini membuka lebar jalan menuju berkembangnya ilmu sastra. Sementara, kebanyakan sastrawan melihat cara itu terlalu anatomistik; sastra diperlakukan sebagai mayat tak berjiwa. Anggapan ini pun berkembang menjadi sikap apriori (berpraanggapan sebelum mengetahui) pada institusi sastra berikut kemuakannya atas teori sastra Barat. Masalah inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu menggelindingnya isu perlunya merumuskan teori dan kritik sastra khas Indonesia.
Jika ditarik ke belakang, sesungguhnya tradisi kritik sastra Indonesia relatif belum bersejarah panjang. Meski begitu, praktiknya justru terjadi sejak awal abad ke-20, seperti dapat kita lihat di media massa yang terbit dekade itu.
Dalam majalah Poedjangga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang sastra, lebih beragam dan mendalam, termasuk uraian konsepsi teoretis sastra dalam kaitannya dengan estetika, seni, dan kebudayaan Indonesia. Cermati tulisan Alisjahbana “Menoedjoe Seni Baroe” (Juli, 1933) dan “Poeisi Indonesia Zaman Baroe” (I-VI: September 1934-Februari 1935), Armijn Pane “Kesoesasteraan Baroe” (I-IV: Juli-Oktober 1933), Hoesein Djajadiningrat “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” (I-V: November 1933-Maret 1934) dan Amir Hamzah “Kesoesasteraan” (I-IV: Juni 1933-September 1934) dan “Pantoen” (Maret 1934). Secara mendalam, mereka mencoba merumuskan konsep dan estetika tradisional dan modern, sastra Indonesia. Ada dua arus pemikiran mengenai rumusan mereka: (1) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut pemikiran Barat yang diangkat Alisjahbana, (2) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut kultur Timur (termasuk Indonesia) yang dikedepankan Djajadiningrat dan Amir Hamzah.
Pada zaman Jepang, pembicaraan mengenai konsep sastra cenderung terfokus pada fungsi sastra, tugas sastrawan, dan penolakan konsep seni untuk seni. Masalahnya berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Fungsi sastra dimanfaatkan untuk propaganda, dan tugas seniman memberi penyadaran akan semangat cinta tanah air, kerelaan berkorban, dan keberanian menghadapi perang. Majalah Djawa Baroe, harian Asia Raja, dan jurnal Keboedajaan Timoer –sekadar menyebut beberapa– adalah media massa waktu itu yang dijadikan corong Pemerintah Pendudukan Jepang.
Dalam konteks kritik sastra Indonesia, meski diakui, teori dan kritik sastra Barat tidak dapat kita hindarkan. Namun, tidaklah berarti kita lalu menelan bulat-mentah. Jadi, teori dan kritik sastra Barat itu sekadar kendaraan yang dapat ditumpangi siapa pun dan dapat dimuati apa pun, sesuai dengan kebutuhan dan arah yang menjadi tujuannya. Jika begitu, tentu saja kita tidak perlu memberhalakan segala yang datang dari Barat.

  

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Pengertian Sastra

Sastra (Sansekerta/Shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śästra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śäs yang berarti instruksi atau ajaran. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada kesusastraan atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.

Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra bila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunannya beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati pembacanya.

 

2.2 Fungsi Sastra

Dalam kehidupan masyarakat, sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu:

1.      Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.

2.      Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya.

3.      Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya.

4.      Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/penikmatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.

5.      Fungsi religious, yaitu sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca satra.

2.3 Ragam Sastra

1. Dilihat dari bentuknya, satr terdiri atas 4 bentuk yaitu:

a. Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.

b. Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu:

·         Jumlah baris tiap-tiap baitnya.

·         Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya.

·         Irama.

·         Persamaan bunyi kata.

c. Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.

d. Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog.

 

2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu:

a. Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.

b. Lirik, karangan yang beisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.

c. Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penkmat/pembca tentang masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.

d. Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejaddian (baik atau buruk) dengan pelukisan yang berlebih-lebihan.

 

2.4 Pengertian Kritik

Kritik adalah analisis untuk menilai suatu karya sastra. Tujuan kritik sebenarnya bukan menunjukkan keunggulan, kelemahan, benar/salah sebuah karya sastra dipandang dari sudut tertentu, tetapi tujuan akhirnya mendorong sastrawan untuk mencapai penciptaan sastra setinggi mungkin dan mendorong pembaca untuk mengapresiasi karya sastra secara lebih baik.

2.5 Definisi Kritik Sastra
Kritik sastra, sesuatu yang dilakukan oleh para ahli atau pengamat hasil sastra. Melalui krtik itu pembaca dapat mengetahui:
·         Segi kekuatan suatu hasil sastra disertai apa alasannya.
·         Segi kelemahan suatu hasil sastra dengan argumentasinya.
·         Mempermudah memahami suatu hasil sastra.

2.6 Jenis Kritik Sastra

Kritik sastra ada bermacam-macam, yang digolongkan menurut jenis bentukya, pelaksanaannya, atau praktik kritik, dan menurut dasar pendekatan kritik sastra terhadap karya sastra.

2.6.1 Menurut jenis bentuk kritik;
            a. Kritik teori (Theoretical Criticsm)
Ialah kritik yang berusaha untuk menetapkan atas dasar prinsip umum, seperangkat istilah yang tali temali, pembedaan-pembedaan, dan kategori-kategori untuk diterapkan pada pertimbangan dan interpretasi karya sastra taupun penerapan criteria (standard an norma) yang dengan itu karya dan pengarangnya dinilai.


b. Praktik kritik atau kritik terapan (Practical Criticsm)
Merupakan diskusi karya sastra tertentu dan penulisnya. Kritik praktik penerapan teori kritik yang dapat dinyatakan secara eksplisit atau implicit berdasarkan keperluannya. Misalnya, kepustakaan jawi karya poerbatjaraka, dll.

2.6.2 Menurut pelaksanaan;
Oleh Abrams, digolongkan menjadi kritik judicial dan kritik impresionistik.
a.       Kritik judicial yaitu kritik yang mempertimbangkan, kritik yang berusaha menganalisa dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya,organisasi, teknik, dan gayanya, dan mendasarkan pertimbangan –pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra.

b.      Kritik impresionistik berusaha menggambarkan dengan kata-kata sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam karya sastra , dan mengekspresikan tanggapan –tanggapan (impresi) kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra.

Menurut T.S Elliot disebut kritik estetik, , kritikus menunjukkan kesan-kesannya terhdap seaut obyek, memberikan tafasirannya untuk mengagumkan pembaca, untuk menimbulkan kesan indah pembaca. Kritik ini menyerupai buku popular, dimana cerita, dan drama atau novel diceritakan kembali, Motif pelakunya ditunjukkan, kritik ini hanya mempermudah orang yang baru belajar membaca karya sastra, menurut Elliot.

Menurut W.H. Hudson, menggolongkan menjadi kritik induktif dan kritik judicial.
Kritik induktif ialah kritik yang menguraikan bagian-bagian sastra berdasarkan fenomena yang ada secara obyektif.
Hudson menunjukkan ada 3 perbedaan pokok antara kedua macam kritik itu
  1. kritik judicial mengakui adanya perbedaan tingkat anatar karya-karya sastra yang disebabkan susunan normanya berbeda, sedangkan induktif tak mengakui perbedaan tingkat antara karya-karya sastra yang ada perbedaan jenis.
  2. kritik judicial mengkaui adanya hukum sastra yang diletakkan diluar dirinya dari sebelumnya. Hukum tersebut mengikat sastrawan dalam menciptakan karya sastra sedangkan induktif tak mengakui hukum yang dibuat manusia untuk menghakimi karya sastra. Hukum atau norma sastra seperti itu sama halnya dengan hukum alam sudah ada pada karya sastra,
  3. kritik judicial bersandar pada standar yang tetap, sedang induktif menggunakan obyektifitas yang tidak menggunakan standar yang berasal dari luar dirinya.

2.6.3 Menurut pendekatannya terhadap karya sastra kritik sastra;
  1. Kritik mimetik, memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan atau penggambaran dunia luar dan kehidupan manusia dan criteria utamanya ialah kebenaran penggambarannya terhadap obyek atua yang hendak digambarkan.

  1. Kritik pragmatic, memandang karya sastra sebagai sesuatu yang disusun untuk mencapai efek tertentu pada pembaca, yang menimbang tingkat keberhasilannya dalam mencapai tujuannya. Efek estetik, pendidikan, moral, dsb.

  1. Kritik ekspresif, menghubungkan karya dengan pengarang

2.7 Manfaat Kritik Sastra
a. Kritik sastra berguna bagi perkembangan sastra
          Dalam mengkritik, kritikus akan menunjukkan hal yang bernilai/tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan kebaruan-kebaruan dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan mutu karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan dalam di negara tertentu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas.

b. Kritik sastra berguna untuk penerangan bagi pembaca
          Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus.

c. Kritik sastra berguna bagi ilmu sastra itu sendiri
          Analisis yang dilakukan kritikus dalam mengkritik tentulah didasarkan pada referensi-referensi, teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra yang baru inilah yang justru akan semakin memperkembangkan ilmu sastra itu sendiri.

d. Memberi sumbangan pendapat untuk menyusun sejarah sastra
          Dalam melakukan kritik, kritikus tentu akan menunjukkan ciri-ciri karya sastra yang dikritik secara struktural (ciri-ciri intrinsik). Tidak jarang pula kritikus akan mencoba mengelompokkan karya sastra yang dikritik ke dalam karya sastra yang berciri sama. Kenyataan inilah yang dapat disimpulkan bahwa kritik sastra sungguh membantu penyusunan sejarah sastra.



2.8 Aktivitas Kritik Sastra
Dari pengertian kritik sastra di depan, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Secara rinci, aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yakni:

  1. Menganalisis
Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antar unsur-unsur tersebut.
  1. Menafsirkan
menafsirkan (interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud karya sastra dengan cara:
(a)    memusatkan interpretasi pada ambiguitas, kias, atau kegelapan dalam karya
sastra,
(b)   memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan
jenis karya sastra.
  1. Penilaian
Sedangkan penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus


2.9 Membuat Kritik Sastra
        Cara membuat kritik sastra:
1.      Pilihlah pengarang yang anda sukai
2.      Pilihlah materi yang paling anda kuasai
3.      Masukanlah beberapa pandangan orang terhadap karya tersebut
4.      Mulailah membuat kritik

2.10 Contoh Kritik Sastra
AKU
By: Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi


Tidak mudah untuk menafsirkan makna yang terkandung di balik puisi. Hanya penulis itu sendirilah yang bisa menafsirkan makna puisi yang ia tulis dengan benar. Sementara pembaca hanya bisa menafsirkan puisi dari sudut pandangnya masing-masing. Termasuk puisi “Aku” karya Chairil Anwar ini.
Dalam kalimat, “aku ini binatang jalang” menggambarkan watak Chairil yang keras dan teguh pada pendirian. Sementara pada kalimat, “dari kumpulannya yang terbuang” kita bisa membuat kesimpulan bahwa sifat kerasnya, membuat Chairil dikucilkan oleh keluarganya sendiri. Dan pada kalimat, “tidak perlu sedu sedan itu” Chairil seolah berpesan pada ibunya bahwa ia tidak butuh dikasihani dan ditangisi.
Sementara pada kalimat, “biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang” bahwa Chairil akan tetap pada prinsipnya walau berbagai macam rayuan dan bujukan dari keluarga dan lingkungannya datang memintanya untuk melepaskan prinsip tersebut.
Kalimat-kalimat yang ada dalam puisi “Aku” karya Chairil Anwar banyak akan kiasan-kiasan yang berpotensi di artikan oleh setiap pembacanya. Penggunaan kiasan-kiasan yang tajam merupakan ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar
Kecintaan Chairil pada dunia sastra dan puisi semakin jelas pada kalimat terakhir, “aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Kalimat ini menjelaskan bahwa Chairil Anwar mengharapkan karya-karyanya akan terus abadi dan bernilai sampai kapan pun. Dan harapannya itu sepertinya akan menjadi kenyataan. Sampai saat ini puisi-puisi karya Chairil Anwar terus bernilai dan dijadikan referensi oleh banyak orang.



BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Kritik merupakan suatu tanggapan yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruknya suatu karya dengan memperlihatkan dua aspek yang harus di bicarakan, yaitu aspek ekstrinsik dan aspek intrinsic. Kedua aspek tersebut saling mendukung dan berhubungan.

3.2       Saran
Menurut kami dalam mengkritik sebaiknya kita tidak menjatuhkan hasil karya orang lain. Tetapi kita mempertimbangkan kedua hal yang baik dan buruknya suatu karya. 

DAFTAR BACAAN

Sadikin, Mustofa, S.s. 2003. Kumpulan Sastra Indonesia. Jakarta: Gudang Ilmu.

Alasan Mempelajari Retorika



BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

            Dalam sejarah kehidupan manusia, manusia tidak pernah luput dari proses sosial karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang hidup saling berinteraksi dengan sesamanya. Kebutuhan manusia akan berkomunikasi merupakan kebutuhan yang sangat vital, di sinilah manusia sebagai makhluk yang berbudaya, memiliki pandangan hidup, serta agama dan keterampilan, mempunyai naluri untuk mengungkapkan gagasan atau pemikiran dalam mengembangkan kehidupan dunia ini.

            Retorika adalah salah satu wahana dalam mengembangkan keterampilan berbahasa dan berkomunikasi. Dengan kata lain, manusia memang dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan baik. Selain itu, manusia juga perlu mengungkapkan diri lewat bahasa untuk menjaga eksistensinya sebagai makhluk sosial yang berbudaya.

 

1.2 Defenisi  Retorika
Manusia mesti berbicara berdasarkan seni berbicara yang dikenal dengan istilah retorika. Retorika adalah seni berkomunikasi secara lisan yang dilakukan oleh seseorang kepada sejumlah orang secara langsung bertatap muka. Oleh karena itu, istilah retorika seringkali disamakan dengan istilah pidato.
Dalam Bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher), retorika adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo). Plato secara umum memberikan defenisi terhadap retorika  sebagai suatu seni manipulatif yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, kepercayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai substansi dengan penggunaan media oral atau tertulis.
Dalam ajaran retorika Aristoteles, terdapat tiga teknis alat persuasi (mempengaruhi) politik yaitu
·         Deliberatif, memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang
·         Forensik , lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran.
·         Demonstratif,  memfokuskan pada wacana memuji dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
1.3  Tujuan Retorika
ü  Membuat Kebaikan (Plato)
ü  Menebalkan kesetiaan akan nilai-nilai
ü  Membentuk  manusia terdidik yang mampu ber empati
ü  Mempersuasi diri agar layak mempengaruhi orang lain
ü  Membina perkembangan saling pengertian (Richard)
1.4  Fungsi Retorika
  • Membimbing penutur mengambil keputusan yang tepat.
  • Membimbing penutur secara lebih baik memahami masalah kejiwaan manusia pada umumnya dan kejiwaan penanggap tutur yang akan dan sedang dihadapi.
  • Membimbing penutur menemukan ulasan yang baik.
  • Membimbing penutur mempertahankan diri serta mempertahankan kebenaran dengan alasan yang masuk akal.

  

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Pentingnya Seni Berbicara (Retorika)

Terkadang kita sering tidak sadar seberapa pentinghkah berbicara dalam kehidupan kita. Banyak orang berbicara semaunya, seenaknya tanpa memikirkan apa isi dari pembicaraan mereka tersebut. Sebenarnya berbicara mempunyai artian mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi motivasi). Tapi sering kali kita mengalami kesulitan dalam mengungkapakan maksud dan isi pikiran kita kepada orang lain. Bahkan sering pula maksud yang kita sampaikan berbeda dengan yang ditangkap oleh pendengar.
Oleh karena itu berbicara sangatlah penting karena yang membedakan manusia dari hewan maupun makhluk lainnya adalah kesanggupan berbicara. Manusia adalah makhluk yang sanggup berkomunikasi lewat bahasa dan berbicara. Tetapi yang lebih mencirikan hakikat manusia sebagai manusia penuh adalah kepandaian dan keterampilan dalam berbicara. Pengetahuan bahasa saja belum cukup! Kebesaran dan kehebatan seseorang sebagai manusia juga ditentukan oleh kepandaiannya dalam berbahasa, oleh keterampilannya dalam mengungkapkan pikiran secara tepat dan meyakinkan. Seni keterampilan berbicara sering disebut dengan Retorika.
Quintilianus, seorang bapak ilmu retorika berkebangsaan Romawi mengatakan, “Hanya orang yang pandai bicara adalah sungguh-sungguh manusia.” Di dalam dunia musik ada lelucon yang berbunyi, “Bermain piano itu tidak sulit! Orang hanya menempatkan jari yang tepat, pada saat yang tepat, di atas tangga nada yang tepat.”
Lelucon dari dunia musik diatas juga dapat dikenakan ke dalam ilmu retorika : ”Berbicara itu sama sekali tidak sulit! Orang hanya harus mengucapkan kata-kata yang tepat, pada saat yang tepat, kepada pendengar yang tepat.”
Memang untuk terampil dalam berbicara tidaklah semudah itu.Untuk menjadi seorang yang pandai bicara, dibutuhkan latihan yang sistematis dan tekun. Sejarah sudah membuktikannya! Orang-orang kenamaan seperti : Demosthenes, Cicero, Napoleon Bonaparte, winston Churchill, Adolf Hitler, J.F Kennedy, Marthin Luther King adalah orang-orang yang menjadi retor terkenal lewat latihan tang teratur, sistematis dan tekun.
2.2 Lalu Mengapa Kita Perlu Mempelajari Retorika ?
Sering orang mengatakan, ”Dia tahu banyak, hanya tidak dapat mengungkapkan dengan baik. Dia tidak dapat mengungkapkan pikirannya secara meyakinkan.” Sangatlah menyedihkan, apabila orang memiliki pengetahuan yang berguna, tetapi tidak dapat mengkomunikasikannya secara mengesankan dan meyakinkan kepada orang lain. Hal tersebut merupakan salah satu contoh mengapa retorika itu perlu.
Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik (Kunst, gut zu redden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Sekarang ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik , yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia.
Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemapuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara.
Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan mengesankan. Itu berarti kita harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif. Jelas  supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan sebagai tanda kepintaran; dan efektif karena apa gunanya kalau berbicara tidak membawa efek?
Dalam konteks ini sebuah pepatah Cina mengatakan, ”Orang yang menembak banyak belum tentu seorang penembak yang baik, dan Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”.

2.3 Alasan untuk Mempelajari Retorika
Ø  Quintilianus mengatakan : ”Tidak ada anugrah yang lebih indah, yang diberikan oleh para dewa, daripada keluhuran berbicara.”
Ø  St. Agustinus, yang juga seorang retor, mengatakan : ”Kepandaian berbicara adalah seni yang mencakup segala-galanya.”
Ø  Sebuah pepatah tua mengatakan, ”Berbicaralah, supaya saya dapat melihat dan mengenal anda.”
Ø  Martin Luther berpendapat, ”Siapa yang pandai berbicara adalah seorang manusia; sebab berbicara adalah kebijaksanaan; dan kebijaksanaan adalah berbicara.”
Ø  Di atas selembar Papirus yang ditemukan di dalam sebuah makam tua di Mesir tertulis, ”Binalah dirimu menjadi seorang ahli pidato, sebab dengan tiu engkau akan menang.”

2.4 Lalu Mengapa Kita Perlu Belajar Retorika? Mengapa Kita Mau Menguasai Ilmu Pandai Bicara?
Di dalam masyarakat umumnya dicari para pemimpin atau orang-orang berpengaruh, yang memiliki kepandaian di dalam hal berbicara. Juga di bidang-bidang lain seperti perindustrian, perekonomian dan bidang sosial, kepandaian berbicara atau keterampilan mempergunakan bahasa secara efektif sangat diandalkan.
Menguasai kesanggupan berbahasa dan keterampilan berbicara menjadi alasan utama keberhasilan orang-orang terkenal di dalam Sejarah Dunia seperti : Demosthenes, Socrates, J. Caesar, St. Agustinus, St. Ambrosius, Martin Luther, Martin Luther King, J.F Kennedy, Soekarno dan lain-lain.
Dalam Sejarah Dunia justru kepandaian berbicara atau berpidato merupakan instrumen utama untuk mempengaruhi massa. Bahasa dipergunakan untuk meyakinkan orang lain. Ketidakmampuan dalam mempergunakan bahasa,membuat ketidakjelasan dalam mengungkapkan masalah atau pikiran dapat membawa dampak negatif dalam hidup dan karya seorang pemimpin. Oleh karena itu, pengetahuan tentang retorika dan ilmu komunikasi yang memadai akan membawa keuntungan bagi pribadi bersangkuatan dalam beberapa bidang tertentu.
Banyak pria dan wanita dalam Sejarah memperoleh suskes besar dalam hidup dan kariernya sebagai pemimpin, berkat penguasaan ilmu retorika. Sebab penguasaan teknik berbicara akan mempertinggi kepercayaan terhadap diri dan memberi rasa  pasti kepada orang yang bersangkutan. Bagi para pemimpin, retorika adalah alat penting untuk mempengaruhi dan menguasai manusia. Bagi para penjual, kepandaian berbicara merupakan sarana penting untuk menjual-belikan barang dagangannya.
Barangsiapa yang menguasai ilmu retorika dan mempergunakannya secara wajar akan mendapat sukses dalam hidup dan karyanya !

2.5 Pembagian Retorika
1. Monologika
Monologika adalah ilmu tentang seni berbicara secara monolog, di mana hanya seorang yang berbicara. Bentuk-bentuk yang tergolong dalam monologika adalah pidato, kata sambutan, kuliah, makalah, ceramah, dan deklamasi.


2. Dialogika
Dialogika adalah ilmu tentang seni berbicara ssecara dialog, di mana dua orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan. Bentuk dialogika yang penting adalah diskusi, tanya jawab, peerundingan, percakapan, dan debat.
3. Pembinaan Teknik Bicara
Efektivitas monologika dan dialogika tergantung juga pada teknik bicara. Teknik bicara merupakan syarat bagi retorika. Oleh karena itu, pembinaan teknik bicara merupakan bagian yang penting dalam retorika. Dalam bagian ini perhatian lebih diarahkan pada pembinaan teknik bernafas, teknik mengucap, bina suara, teknik membaca, dan bercerita.
  

BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Retorika sangat perlu dipelajari karena merupakan sarana untuk mengungkapkan gagasan ataupun pemikiran mengingat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang tidak luput dari pertolongan, interaksi dan komunikasi dengan sesamanya.selain itu, alasan lain mengapa kita perlu mempelajari retorika karena di dalam masyarakat umumnya dicari para pemimpin atau orang-orang berpengaruh, yang memiliki kepandaian di dalam hal berbicara. Juga di bidang-bidang lain seperti perindustrian, perekonomian dan bidang sosial, kepandaian berbicara atau keterampilan mempergunakan bahasa secara efektif sangat diandalkan.

3.2  Saran
Semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat dan dijadikan referensi bagi pembaca. Hendaknya dalam penyusunan makalah dibutuhkan beberapa literatur agar isi makalah lebuh maksimal.


  
DAFTAR PUSTAKA

Hendrikus, Dori Wuwur. 1991. Retorika Terampil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi. Yogyakarta:Kanisius.