BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pada
pertengahan sampai akhir dasawarsa 1980-an, pernah ramai dibincangkan
kemungkinan dilahirkannya kritik sastra Indonesia yang khas bercirikan
keindonesiaan. Beberapa istilah pun kemudian bermunculan. Satyagraha Hoerip,
misalnya, melontarkan gagasannya dengan mengusung istilah Teori dan Kritik
Sastra PDN (produksi dalam negeri). Yang lain menyebutnya dengan teori dan
kritik sastra yang khas Indonesia.
Apapun
istilahnya, dasar pemikiran yang dikedepankan dalam perbincangan itu menyangkut
perlunya dirumuskan teori dan kritik sastra yang tak lagi berkiblat ke Barat.
Sejak diselenggarakannya serangkaian diskusi kritik sastra awal Orde Baru, yang
ekornya melahirkan dua aliran kritik sastra, yaitu kritik akademis (Aliran Rawamangun)
dan kritik dengan metode Ganzheit, ada kecenderungan kuatnya pengaruh kritik
akademis dalam peta kesusastraan kita. Pengaruhnya itu mengakar di berbagai
institusi sastra di Indonesia.
Di
dalam perkembangannya kemudian, kritik akademis ini terkesan asyik-masyuk (berkasih-kasihan)
sendiri. Ia cuma milik kalangan akademi dan tak laku dijual untuk komunitas
kesusastraan Indonesia secara keseluruhan. Tambahan lagi, analisis yang
diperlihatkan kritik akademis, dipandang terlalu kering-kaku . Akibatnya terjadi
tulalit antara kritikus (akademi) dan sastrawan. Kaum akademi menempatkan
metode ilmiah dengan berbagai teori Barat sebagai “satu” cara analisis yang
andal dan teruji. Langkah ini membuka lebar jalan menuju berkembangnya ilmu
sastra. Sementara, kebanyakan sastrawan melihat cara itu terlalu anatomistik;
sastra diperlakukan sebagai mayat tak berjiwa. Anggapan ini pun berkembang
menjadi sikap apriori (berpraanggapan sebelum mengetahui) pada institusi sastra
berikut kemuakannya atas teori sastra Barat. Masalah inilah yang menjadi salah
satu faktor pemicu menggelindingnya isu perlunya merumuskan teori dan kritik
sastra khas Indonesia.
Jika
ditarik ke belakang, sesungguhnya tradisi kritik sastra Indonesia relatif belum
bersejarah panjang. Meski begitu, praktiknya justru terjadi sejak awal abad
ke-20, seperti dapat kita lihat di media massa yang terbit dekade itu.
Dalam
majalah Poedjangga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang sastra, lebih beragam
dan mendalam, termasuk uraian konsepsi teoretis sastra dalam kaitannya dengan
estetika, seni, dan kebudayaan Indonesia. Cermati tulisan Alisjahbana
“Menoedjoe Seni Baroe” (Juli, 1933) dan “Poeisi Indonesia Zaman Baroe” (I-VI:
September 1934-Februari 1935), Armijn Pane “Kesoesasteraan Baroe” (I-IV:
Juli-Oktober 1933), Hoesein Djajadiningrat “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib”
(I-V: November 1933-Maret 1934) dan Amir Hamzah “Kesoesasteraan” (I-IV: Juni
1933-September 1934) dan “Pantoen” (Maret 1934). Secara mendalam, mereka
mencoba merumuskan konsep dan estetika tradisional dan modern, sastra
Indonesia. Ada dua arus pemikiran mengenai rumusan mereka: (1) konsep dan
estetika sastra Indonesia menurut pemikiran Barat yang diangkat Alisjahbana,
(2) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut kultur Timur (termasuk
Indonesia) yang dikedepankan Djajadiningrat dan Amir Hamzah.
Pada
zaman Jepang, pembicaraan mengenai konsep sastra cenderung terfokus pada fungsi
sastra, tugas sastrawan, dan penolakan konsep seni untuk seni. Masalahnya
berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Fungsi sastra
dimanfaatkan untuk propaganda, dan tugas seniman memberi penyadaran akan
semangat cinta tanah air, kerelaan berkorban, dan keberanian menghadapi perang.
Majalah Djawa Baroe, harian Asia Raja, dan jurnal Keboedajaan Timoer –sekadar
menyebut beberapa– adalah media massa waktu itu yang dijadikan corong
Pemerintah Pendudukan Jepang.
Dalam
konteks kritik sastra Indonesia, meski diakui, teori dan kritik sastra Barat
tidak dapat kita hindarkan. Namun, tidaklah berarti kita lalu menelan
bulat-mentah. Jadi, teori dan kritik sastra Barat itu sekadar kendaraan yang
dapat ditumpangi siapa pun dan dapat dimuati apa pun, sesuai dengan kebutuhan
dan arah yang menjadi tujuannya. Jika begitu, tentu saja kita tidak perlu
memberhalakan segala yang datang dari Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sastra
Sastra (Sansekerta/Shastra) merupakan kata
serapan dari bahasa Sansekerta śästra,
yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śäs yang berarti instruksi atau ajaran.
Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada kesusastraan
atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Suatu hasil karya baru dapat dikatakan
memiliki nilai sastra bila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan
isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunannya beserta isinya dapat
menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati pembacanya.
2.2 Fungsi Sastra
Dalam kehidupan masyarakat, sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu:
1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat
memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.
2. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu
mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan
yang terkandung di dalamnya.
3. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan
keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya.
4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu
memberikan pengetahuan kepada pembaca/penikmatnya sehingga tahu moral yang baik
dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.
5. Fungsi religious, yaitu sastra pun
menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani
para penikmat/pembaca satra.
2.3 Ragam Sastra
1. Dilihat dari bentuknya, satr terdiri atas 4 bentuk yaitu:
a. Prosa, bentuk sastra yang diuraikan
menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti
dalam puisi.
b. Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan
menggunakan bahasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu
terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu:
·
Jumlah
baris tiap-tiap baitnya.
·
Jumlah
suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya.
·
Irama.
·
Persamaan
bunyi kata.
c. Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan
seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada
prosa.
d. Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan
dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan
dialog atau monolog.
2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu:
a. Epik, karangan yang melukiskan sesuatu
secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.
b. Lirik, karangan yang beisi curahan
perasaan pengarang secara subyektif.
c. Didaktif, karya sastra yang isinya
mendidik penkmat/pembca tentang masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.
d. Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejaddian (baik atau buruk) dengan pelukisan yang berlebih-lebihan.
2.4 Pengertian Kritik
Kritik adalah analisis untuk menilai
suatu karya sastra. Tujuan kritik sebenarnya bukan menunjukkan keunggulan,
kelemahan, benar/salah sebuah karya sastra dipandang dari sudut tertentu,
tetapi tujuan akhirnya mendorong sastrawan untuk mencapai penciptaan sastra
setinggi mungkin dan mendorong pembaca untuk mengapresiasi karya sastra secara
lebih baik.
2.5 Definisi
Kritik Sastra
Kritik sastra, sesuatu
yang dilakukan oleh para ahli atau pengamat hasil sastra. Melalui krtik itu
pembaca dapat mengetahui:
·
Segi kekuatan suatu hasil sastra disertai apa
alasannya.
·
Segi kelemahan suatu hasil sastra dengan
argumentasinya.
·
Mempermudah memahami suatu hasil sastra.
2.6 Jenis Kritik Sastra
Kritik
sastra ada bermacam-macam, yang digolongkan menurut jenis bentukya,
pelaksanaannya, atau praktik kritik, dan menurut dasar pendekatan kritik sastra
terhadap karya sastra.
2.6.1 Menurut jenis bentuk kritik;
a. Kritik teori (Theoretical Criticsm)
Ialah kritik yang berusaha untuk menetapkan atas dasar prinsip umum, seperangkat istilah yang tali temali, pembedaan-pembedaan, dan kategori-kategori untuk diterapkan pada pertimbangan dan interpretasi karya sastra taupun penerapan criteria (standard an norma) yang dengan itu karya dan pengarangnya dinilai.
b. Praktik kritik atau kritik
terapan (Practical Criticsm)
Merupakan diskusi karya sastra tertentu dan penulisnya. Kritik praktik penerapan teori kritik yang dapat dinyatakan secara eksplisit atau implicit berdasarkan keperluannya. Misalnya, kepustakaan jawi karya poerbatjaraka, dll.
Merupakan diskusi karya sastra tertentu dan penulisnya. Kritik praktik penerapan teori kritik yang dapat dinyatakan secara eksplisit atau implicit berdasarkan keperluannya. Misalnya, kepustakaan jawi karya poerbatjaraka, dll.
2.6.2
Menurut pelaksanaan;
Oleh Abrams, digolongkan
menjadi kritik judicial dan kritik impresionistik.
a. Kritik
judicial yaitu kritik yang mempertimbangkan, kritik yang berusaha menganalisa
dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya,organisasi, teknik,
dan gayanya, dan mendasarkan pertimbangan –pertimbangan individual kritikus
atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra.
b. Kritik
impresionistik berusaha menggambarkan dengan kata-kata sifat-sifat yang terasa
dalam bagian-bagian khusus atau dalam karya sastra , dan mengekspresikan
tanggapan –tanggapan (impresi) kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh
karya sastra.
Menurut T.S Elliot disebut
kritik estetik, , kritikus menunjukkan kesan-kesannya terhdap seaut obyek,
memberikan tafasirannya untuk mengagumkan pembaca, untuk menimbulkan kesan
indah pembaca. Kritik ini menyerupai buku popular, dimana cerita, dan drama atau
novel diceritakan kembali, Motif pelakunya ditunjukkan, kritik ini hanya
mempermudah orang yang baru belajar membaca karya sastra, menurut Elliot.
Menurut W.H. Hudson, menggolongkan menjadi
kritik induktif dan kritik judicial.
Kritik induktif ialah kritik yang menguraikan
bagian-bagian sastra berdasarkan fenomena yang ada secara obyektif.
Hudson menunjukkan ada 3 perbedaan pokok antara kedua macam kritik itu
Hudson menunjukkan ada 3 perbedaan pokok antara kedua macam kritik itu
- kritik judicial mengakui adanya perbedaan tingkat anatar karya-karya sastra yang disebabkan susunan normanya berbeda, sedangkan induktif tak mengakui perbedaan tingkat antara karya-karya sastra yang ada perbedaan jenis.
- kritik judicial mengkaui adanya hukum sastra yang diletakkan diluar dirinya dari sebelumnya. Hukum tersebut mengikat sastrawan dalam menciptakan karya sastra sedangkan induktif tak mengakui hukum yang dibuat manusia untuk menghakimi karya sastra. Hukum atau norma sastra seperti itu sama halnya dengan hukum alam sudah ada pada karya sastra,
- kritik judicial
bersandar pada standar yang tetap, sedang induktif menggunakan
obyektifitas yang tidak menggunakan standar yang berasal dari luar
dirinya.
2.6.3 Menurut pendekatannya terhadap karya sastra kritik sastra;
- Kritik mimetik, memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan atau penggambaran dunia luar dan kehidupan manusia dan criteria utamanya ialah kebenaran penggambarannya terhadap obyek atua yang hendak digambarkan.
- Kritik pragmatic, memandang karya sastra sebagai sesuatu yang disusun untuk mencapai efek tertentu pada pembaca, yang menimbang tingkat keberhasilannya dalam mencapai tujuannya. Efek estetik, pendidikan, moral, dsb.
- Kritik ekspresif, menghubungkan karya dengan pengarang
2.7 Manfaat Kritik Sastra
a.
Kritik sastra berguna bagi perkembangan sastra
Dalam mengkritik,
kritikus akan menunjukkan hal yang bernilai/tidak bernilai dari suatu karya
sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan kebaruan-kebaruan dalam karya
sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian
sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan
kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan mutu karya
sastranya. Jika sastrawan-sastrawan dalam di negara tertentu menghasilkan
karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara
tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas.
b.
Kritik sastra berguna untuk penerangan bagi pembaca
Dalam
melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan
kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang
dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang
dikritik oleh kritikus.
c.
Kritik sastra berguna bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dilakukan
kritikus dalam mengkritik tentulah didasarkan pada referensi-referensi,
teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih
lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam
melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru.
Teori-teori sastra yang baru inilah yang justru akan semakin memperkembangkan
ilmu sastra itu sendiri.
d.
Memberi sumbangan pendapat untuk menyusun sejarah sastra
Dalam
melakukan kritik, kritikus tentu akan menunjukkan ciri-ciri karya sastra yang
dikritik secara struktural (ciri-ciri intrinsik). Tidak jarang pula kritikus
akan mencoba mengelompokkan karya sastra yang dikritik ke dalam karya sastra
yang berciri sama. Kenyataan inilah yang dapat disimpulkan bahwa kritik sastra
sungguh membantu penyusunan sejarah sastra.
2.8 Aktivitas Kritik Sastra
Dari pengertian kritik sastra di depan,
terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Secara rinci, aktivitas kritik
sastra mencakup 3 (tiga) hal, yakni:
- Menganalisis
Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang
membangun karya sastra dan menarik hubungan antar unsur-unsur tersebut.
- Menafsirkan
menafsirkan (interpretasi) dapat diartikan
sebagai memperjelas/memperjernih maksud karya sastra dengan cara:
(a)
memusatkan interpretasi pada ambiguitas, kias, atau
kegelapan dalam karya
sastra,
(b)
memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan
unsur-unsur dan
jenis karya sastra.
- Penilaian
Sedangkan
penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak
dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Penilaian seorang kritikus
sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik
sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus
2.9 Membuat
Kritik Sastra
Cara membuat kritik sastra:
1.
Pilihlah pengarang yang anda sukai
2.
Pilihlah materi yang paling anda kuasai
3.
Masukanlah beberapa pandangan orang terhadap karya
tersebut
4.
Mulailah membuat kritik
2.10 Contoh
Kritik Sastra
AKU
By: Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Tidak mudah untuk
menafsirkan makna yang terkandung di balik puisi. Hanya penulis itu sendirilah
yang bisa menafsirkan makna puisi yang ia tulis dengan benar. Sementara pembaca
hanya bisa menafsirkan puisi dari sudut pandangnya masing-masing. Termasuk
puisi “Aku” karya Chairil Anwar ini.
Dalam kalimat,
“aku ini binatang jalang” menggambarkan watak Chairil yang keras dan teguh pada
pendirian. Sementara pada kalimat, “dari kumpulannya yang terbuang” kita bisa
membuat kesimpulan bahwa sifat kerasnya, membuat Chairil dikucilkan oleh
keluarganya sendiri. Dan pada kalimat, “tidak perlu sedu sedan itu” Chairil
seolah berpesan pada ibunya bahwa ia tidak butuh dikasihani dan ditangisi.
Sementara pada
kalimat, “biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang menerjang” bahwa
Chairil akan tetap pada prinsipnya walau berbagai macam rayuan dan bujukan dari
keluarga dan lingkungannya datang memintanya untuk melepaskan prinsip tersebut.
Kalimat-kalimat
yang ada dalam puisi “Aku” karya Chairil Anwar banyak akan kiasan-kiasan yang
berpotensi di artikan oleh setiap pembacanya. Penggunaan kiasan-kiasan yang
tajam merupakan ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar
Kecintaan Chairil pada
dunia sastra dan puisi semakin jelas pada kalimat terakhir, “aku ingin hidup
seribu tahun lagi”. Kalimat ini menjelaskan bahwa Chairil Anwar mengharapkan
karya-karyanya akan terus abadi dan bernilai sampai kapan pun. Dan harapannya
itu sepertinya akan menjadi kenyataan. Sampai saat ini puisi-puisi karya
Chairil Anwar terus bernilai dan dijadikan referensi oleh banyak orang.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kritik merupakan suatu tanggapan yang
disertai uraian dan pertimbangan baik buruknya suatu karya dengan
memperlihatkan dua aspek yang harus di bicarakan, yaitu aspek ekstrinsik dan
aspek intrinsic. Kedua aspek tersebut saling mendukung dan berhubungan.
3.2
Saran
Menurut kami dalam mengkritik sebaiknya
kita tidak menjatuhkan hasil karya orang lain. Tetapi kita mempertimbangkan
kedua hal yang baik dan buruknya suatu karya.
DAFTAR
BACAAN
Sadikin, Mustofa, S.s. 2003. Kumpulan Sastra Indonesia. Jakarta: Gudang Ilmu.